“Eighteen floor, 1 a.m,” chat darinya. Aku balas dengan emotikon ibu jari dan tanda peluk.
Lantai 18. Dini hari. Sengaja kupakai gaun dengan warna merah agak tua. Berjalan anggun, sembari menelisik setiap sudut. Lagu favorit mengalun dengan suara pelan. Aku mendekati asal suara. Nampak bunga kesukaanku, menghiasi meja bundar dengan taplak dari kain sutra berwarna putih.
“As your wish,” dia tersenyum sambil membuka telapak tangan. Memberi tanda kalau yang ada di sini sekarang sesuai dengan apa yang disebutkan dalam percakapan telefon.
Kuulurkan tangan yang terbungkus sarung tangan yang terbuat dari kulit. Lalu dia menciumnya dengan santun. Kemudian dia berjalan ke belakang, memegangi sandaran kursi. Ia menarik kursinya. Aku membetulkan posisi kursi sebelum duduk. Duduk di ujung kursi, lalu menyimpan tas tangan di balik puggungku. Setelah memastikan aku duduk dengan nyaman, dia baru menduduki kursi di depanku.
Semilir angin menggoyangkan daun anggur yang menghiasi meja. Buket azalea tiga warna ikut menjadi saksi dua orang yang baru bertemu kembali. Dia mengambil botol fisco klasik , lalu membukanya dengan alat khusus.
“Kau tak akan menyesal?” menatap yang sedang membuka botol.
“Mungkin bukan penyesalan, tapi harus bisa menerima manis pahitnya,” jawabnya, setelah ia menyimpan tutup botol. Gelas wine diisi, diangkat, digoyangkan perlahan, lalu didekatkan ke hidung.
Dialah cinta pertama. Sekarang menjadi salah satu bos besar yang lumayan disegani di antara eksekutif muda. Sedang aku, pegawai profesional salah satu organisasi gelap. Nama anggur yang botolnya terbungkus setegahnya oleh anyaman bambu, menjadi nama samaranku.
Isi gelas tinggal seperempatnya. Hati terasa hangat. Aku mengusap bagian tengah paha. Tak seperti biasanya, pistol yan tersembunyi dengan rapi sangat terasa mengganjal.
***
2022
Disadur dari fiksimini berjudul sama berbahasa Sunda. Pernah dimuat di majalah Manglé 10 November 2021