JENDELA BERDEBU

- Penulis Berita

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:27

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Septian MA

“Kejahatan yang sangat kejam
adalah membiarkan rindu menggantung
tanpa kejelasan. Bergoyang perlahan
diterpa angin yang samar. Membuat
keberadaannya tidak membumi ataupun
melangit.”

Seorang lelaki paruh baya melamun di bawah jendela. Rumahnya terlihat lapuk dengan berisikan satu buah kursi dan meja sebagai pelengkapnya. Dia merasakan kerinduan pada mendiang kekasihnya. Tiga tahun berlalu, perempuan yang telah menumpahkan berbagi warna dalam hidupnya direngkuh bumi. Tak ada satu potretpun yang bisa ia lihat barang sekejap untuk mengenang wajah elok sang kekasih.

“Hari demi hari aku rasa begitu kelam, semakin gelap, cahaya yang kemarin kulihat sebesar bola sepak kini hanya sebesar bola pingpong, tak lebih.”

Gumam lelaki paruh baya itu dengan tangan mendekap kedua lutut. Pandangannya kini diarahkan pada kursi lapuk. Samar-samar ia lihat dirinya saat muda. Duduk melepas lelah usai bekerja. Dari belakang kekasihnya datang membawa secangkir teh hangat.

Kemudian keduanya berbincang disinari
matahari senja yang merunduk memasuki
jendela rumah.

“Ah masa itu.” lelaki itu
mendecikkan mulut dengan sebuah
senyum tipis di bibirnya. Kemudian ia
kembali pada kenyataan bahwa wanita yang
amat dicintainya telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

“ Sayang … senja kali ini kelabu. Sepertinya cahaya matahari tak tega melihatku yang amat terluka. Mungkin dia takut salah berucap dan membuatku tersinggung. Kaca jendela yang setiap pagi kau lap dengan lembut kini kian kotor. Maafkan, bukan aku tak ingin membersihkannya, hanya saja aku tak kuasa. Wajahmu selalu muncul setiap kali jendela itu hendak kubersihkan. Sedang hasratku selalu mendesakku untuk memelukmu yang telah jauh pergi. Semua itu menyiksaku. Kalau boleh aku bertanya, kemana harus kualamatkan kerinduan ini? Ke pusaramu? Pernah ingin kulakukan itu, tapi aku takut rindu ini tak sampai kerena terhalang lapisan tanah yang tebal. Aku sudah tak lagi muda, dorongan kerinduanku mungkin takkan kuat menembus tanah yang semakin mengeras itu.”

Kini lelaki itu bangkit dan berjalan
mondar-mandir di hadapan jendela, kemudian berhenti sejenak dan kembali mengayunkan kakinya. Jendela tua dengan kaca yang penuh debu. Kalaulah jendela itu bisa berucap mungkin dia akan memaki lelaki tua bangka yang hilir mudik itu. Beruntung. Tuhan tidak menganugrahkan mulut padanya. Lelaki itu kini berhenti agak lama
di samping kiri jendela. Menundukan
wajahnya sejenak kemudian mendongak menatap langit-langit. Ada senyum samar di
bibirnya, tapi tatapannya kosong. Lelaki
itu tengah memikirkan sesuatu.

“hem …” kata lelaki itu berbarengan dengan menjentikan jari tangannya dan bergegas duduk di kursi.
Lelaki itu kembali bergumam, “aku pernah
mendengar bahwa manusia terdiri dari
jasmani dan ruhani. Yah, yang dipendam
di tanah itu tidak lain hanyalah jasmani.
Pakaian dari air mani. Itu hanya sebuah
pakaian bukan isinya. Sekarang aku tau
kemana rindu ini harus kualamatkan,
pada ruhaninya. Yah benar… hahahaha
pada ruhani. Kenapa aku bisa lupa khotbah itu. Apa karena aku sudah tua? Tapi yah sudahlah aku sudah tahu sekarang.” Dia memejamkan
matanya dengan perlahan, tapi sesaat
kemudian matanya kembali terbelalak.
“Tapi dimana ruhaninya sekarang?” lelaki
itu menyapukan pandangannya
kesekeliling ruangan. “Sebentar, aku harus kembali mengingat lanjutan khotbah itu.” dia memejamkan mata, tapi kali ini cukup lama. Matanya kembali terbuka. Sepertinya lelaki itu menemukan apa yang
dicari dalam kepalanya. “Ruh itu berasal
dari Sang Maha Ruh. Tepat sekali! Aku
ingat betul, tapi … siapa Sang Maha Ruh?
Aku tak mengenalnya bahkan namanyapun aku tak tahu. Lagi pula khotbah itu adalah khobah pertama yang aku dengarkan selama aku hidup. Tapi aku yakin benar ruh kekasihku kembali kepada Dia Sang Maha Ruh.”

Matahari mulai berlindung di balik
bukit belakang rumahnya. Sedang lelaki
tua itu masih duduk tanpa berpindah
hanya gerakan-gerakan kecil yang diperbuatnya. Sepertinya dia masih berkutat dengan pikiranya, dengan rindu yang kian hari kian bertambah berat. Dirasanya rindu semakin menekan meminta untuk segera disampaikan kepada yang berhak; kekasihnya.

Sebuah hentakan kaki terdengar.
“Persetan dengan nama pemilik ruh itu!”
bentak lelaki itu dengan tiba-tiba.
Meja yang sedari tadi di hadapanya seolah
hendak lari terbirit karena kaget.
“Rindu ini akan kusampaikan kepada pemilik ruh kekasihku. Akan kusuruh Dia
menyampaikan rinduku padanya. Aku
sangat yakin kalau kekasihku merasakan
kerinduan yang sama.” Lelaki itu terdiam
sejenak. Seperti ada yang mengganjal di
hatinya.
“ Dimana aku bisa menemuinya? Aku tak kenal Dia. Tak tahu rumahnya pula.”

Hari sudah gelap. Lelaki itu
bangkit kemudian melangkah ke arah
jendela dan duduk sama persis seperti
yang dilakukannya senja tadi. Ia memeluk
kedua lutut. Badannya mengigil, nafasnya
tersendat dan rintik air mata mulai
tampak di pipinya. Tangisnya tanpa suara
tapi setidaknya semut dan jangkrik malam bisa mendengarnya. Lelaki itu terus menangis. Dia merasa kalah, kalah dengan rasa rindu, dengan pikiranya yang buntu,
dengan kesepian yang menjelma anak
panah Arjuna yang tepat menghujam
jantung Adipati Karna. Beberapa menit kemudian lelaki itu menyeka air matanya, bangkit menegakkan tubuhnya. Dia berbalik ke arah jendela. Terdengar suara berderat
saat jendela dibuka. Lelalaki tua itu
terdiam sejengak. Menari nafas panjang.

“Kristina …!” lelaki tua
itu memanggil nama kekasihnya dengan lantang. Setelah berteriak lelaki tua itu
terkulai lemas. Beberapa saat tangannya
mengapai-gapai mencoba bangkit. Dipegangnya jendela berdebu dan
kembali memacuhkan kakinya. Kepalanya
yang pening ditempelkan pada bingkai
jendela. Kemudian ia berbisik. Lirih.

“Sang Maha Ruh …, aku merindukanya, aku merindukan Kristina kekasihku yang ruhnya saat ini Kau genggam,” lelaki itu terkulai tak sadarkan diri di bawah jendela.

Untuk beberapa detik matanya sempat terbuka. Dilihatnya Kristina tersenyum manis dan berbisik, “Aku juga merindukanmu, Sayang.” Lelaki tua itu tersenyum penuh nikmat. Lalu matanya yang sudah keriput itu tak pernah lagi terbuka.

***

 

 

 

Berita Terkait

*Cetar Ada SMS Bikin Heboh di Bandung Selatan*
Gelar Seni Budaya Tolak Peredaran Narkoba
Menciptakan Surga di Hamparan Kebun Teh Kertasari Estate
MENGENAL SOSOK REVA YULI ANJANI, PENARI JAIPONG DARI DESA TARUMAJAYA
PUISI/SAJAK
CERPEN
Cerita Pendek
TUJUAN

Berita Terkait

Rabu, 16 April 2025 - 10:05

Desa Rancamanyar Laksanakan Musdes Penataan Desa

Rabu, 12 Maret 2025 - 21:30

Bupati Bandung Dadang Supriatna Jabat Ketua Umum Asosiasi Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi

Rabu, 12 Maret 2025 - 13:32

Ini Penjelasan Kadis PMD Tata Irawan Soal Wacana Pemekaran Desa di Kabupaten Bandung

Rabu, 12 Maret 2025 - 13:27

DPMD: Hasil Kajian 14 Kecamatan, 127 Desa, dan 8 Kelurahan di Kabupaten Bandung Layak Dimekarkan 

Senin, 10 Maret 2025 - 13:26

Di Cicalengka, Kadis PMD Tata Irawan Sampaikan Paparan Arah Kebijakan Penataan Desa

Senin, 10 Maret 2025 - 10:50

DPMD Tata Irawan: Sosialisasi Arah Kebijakan Penataan Desa Dengan Sasaran Pemekaran Desa

Jumat, 7 Maret 2025 - 16:54

Bupati Bandung: Pembangunan Fly Over Jalan Rancaekek-Majalaya Sudah Diusulkan ke Provinsi Jabar

Jumat, 7 Maret 2025 - 16:49

Kang Ali Syakieb Tegaskan Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba Kejahatan Luar Biasa 

Berita Terbaru

BEJAKEUN

Desa Rancamanyar Laksanakan Musdes Penataan Desa

Rabu, 16 Apr 2025 - 10:05