Oleh: Septian MA
Entah sudah berapa medali penghargaan di dapatnya dalam perlombaan menulis. Mungkin sudah tidak terhitung lagi. Sekarang medali itu tergantung di leher paku yang menancap di dinding kamarnya. Berbagai penghargaan terpampang, berselang dengan coretan yang hampir memenuhi dinding kamarnya. Ayahnya menyebut kamar itu seperti penjara namun dia tidak peduli.
Saat masih duduk di bangku SD, ia gemar sekali menunjuk secara acak satu titik pada globe di kamarnya dan berharap bisa mendatangi belahan dunia yang ditunjuknya dengan jalan menulis.
Kini, saat umurnya semakin bertambah, ia benci mengenangkan masa itu, “biarkan semuanya menjadi laut,” gumamnya saat mengecat globenya menjadi biru. Barangkali ia merasa harapanya tenggelam, persis seperti benua-benua yang dicat biru itu. Atau mungkin ia lebih ingin ombak menyeret pikiran dan kegelisahannya. Meski begitu, globe itu masih saja disimpannya di atas lemari samapi sekarang.
Lemari itu juga sepertinya bermasalah, “tidak jelas,” demikian komentar ayahnya lagi. Ibunya bisa dibilang acuh tak acuh kepadanya. Entah karena tak peduli atau karena sudah kelewat kesal. “Asal dia tidak mati, aku sudah syukur,” kata ibunya suatu sore di kamarnya. Itu terjadi saat ia kedapatan muntah-muntah tak sadarkan diri.
Sebenarnya tidak banyak yang dituntut oleh ibunya. Sebagai pendiri dan ketua majelis taklim ibu-ibu, ia hanya ingin anaknya menjadi soleh seperti pengertian yang di anutnya. Soal medali? Tidak penting, “jangan meninggalkan perintah agama,” demikian pesan Ibunya, masih di sore yang sama saat ia tengah terbaring lemas.
Sebenarnya, beberapa jam sebelum ia ditemukan terkapar di ranjang, ia tengah berpikir untuk berubah. Berubah seperti yang diinginkan oleh ayahnya: menjadi ahli hukum; dan ibunya: menjadi ahli agama. Jadi, ia harus menjadi ahli hukum yang ahli agama. Hal itu diakuinya sangat sulit dan bertentangan dengan cita-citanya.
Sejak mulai bisa membaca dan menulis, ia tidak pernah melewatkan keduanya walaupun tidak bisa dibilang kutu buku. Setiap minggu membaca surat kabar dan kolom yang itu-itu juga, kolom sastra. Ia gemar menulis puisi dan cerita pendek. Semua medali yang tak terurus itu bukti kegemarannya yang beberapa tahun ini terkatung-katung, hingga sekarang yang tersisa di pikirannya hanya menjadi seperti keinginan orangtuanya. Di sisi lain ia merasa keinginan orangtuanya itu wajib karena ia anak satu-satunya.
Saat itu pukul satu siang, dia merasa kepalanya pusing, terhuyung menggapai-gapai tembok di sepanjang gang. Seorang teman lama menemukannya dan menyuruhnya naik. Motor memutar balik, meninggalkan gang dan menjauhi rumah.
“Kau kenapa?”
“Hanya pusing.”
“Kau sakit?”
Dia tidak menjawab, tapi sudah beberapa minggu ini dia merasakan kepalanya selalu berdenyut walau pun dia tidak sakit. Dia yakin karena sudah memeriksakannya dua hari yang lalu. Temannya tertawa, entah apa yang dipikirkanya. Dia menarik gasnya kuat-kuat, membawa mereka ke sebuah kedai. Kedai di ujung jalan yang tak terlalu terang itu adalah milik temannya.
Saat saklar ditekan, ruangan gelap itu menjadi bercahaya meski remang-remang saja. Ia duduk menempati sebuah bangku. Untuk beberapa saat temannya menghilang dan kembali dengan sebuah botol berbentuk pipih berukuran sedang dan dua gelas kecil.
“Aku rasa kau sedang stres, jadi, mari kita minum dan kita lihat apa yang membuatmu menjadi begini.”
“Apa menurutmu begitu?”
Temannya tersenyum dan mulai membuka botol yang dibawanya. “Tunggu,” katanya. Sekali lagi, temannya menghilang dalam gelap dan kembali membawa batu es berukuran kecil-kecil di sebuah mangkuk, ia memasukan bongkahan es kecil itu kedalam gelas dan mulai menuangkan minumannya, “bening dan segar,” katanya.
“Aku berpikir untuk berhenti minum.”
“Aku yakin kau membutuhkanya kali ini,” jawabnya setelah mengosongkan gelas.
“Baiklah,” satu gelas vodka dingin kini melewati kerongkongannya, ia merasa badannya menjadi hangat dan telinganya sedikit berdengung.
“Jadi, apa masalahnya?” tanya temannya.
Seperti sepeda tanpa rem, ia berbicara nyerocos hampir tanpa jeda. Sesekali mereka tertawa dan begitulah sampai ia ditemukan orangtuanya terkapar di ranjang, bersama medali-medali yang berserak di kamarnya.
2022