Aku masih ingat ketika kami sama-sama menjelajah kota tercantik di New York, Philipsburg Manor House dan pemakaman Sleepy Hollow. Tempat Elizabeth Arden, Brooke Astor dan Andrew Carnegie dimakamkan. Dia dengan lugas menceritakan sejarah kota kecil ini. Sementara, aku hanya menyimak dan mengikuti kemana dia melangkah. kemudian di taman ini, dulu aku sempat mengungkapkan apa yang selama ini aku pendam, taman yang dipenuhi kebun anggur juga bunga lavender, sesekali aku menangkap matanya yang ungu. Keindahan seluruh kota ini lenyap tersaingi oleh senyumnya.
“Aku adalah lelaki yang mempunyai hati dan degup jantung sempurna, ini kujaga dari sekian mawar yang memercikan aromanya ke tubuhku, kali ini ingin kupersembahkan untukmu, Jasmine.”
Dia hanya tertunduk, helaan napas itu terdengar begitu riuh dan luruh. Aku tahu, ada kebimbangan yang menyelimuti pikirannya. Waktu tidak pernah berpihak padaku untuk masalah perasaan, meski aku mendapati beberapa kali penolakan namun jiwaku telah tersalib olehnya. Taman ini seketika berubah menjadi labirin penuh cermin, ada banyak bayanganku dan bayangannya menyelimuti semesta. Tidak, aku masih berada di alam sadar. Seteguk The Winston Coctail tidak akan membuatku mabuk apalagi melupakan lumatan terakhirnya.
“Aku mencintaimu, Dave. Sangat mencintaimu” Suara itu begitu halus, memadati setiap ruang yang kosong di dadaku. Spectrum wajahnya mengabu, dia menciptakan dinding-dinding bergrafity memabukkan dan aku, hanyalah lelaki yang tidak pernah mampu mencuri kerlip matanya.
“Kita akan pulang Jasmine, meninggalkan New York yang penuh dengan kenangan. Aku telah siap dengan segala konsekuensinya meskipun itu mempertaruhkan nyawaku sendiri,” dadaku bergemuruh, suaraku begitu jelas memecah keheningan di taman ini.
“Kamu masih ingat dengan seorang penulis yang lahir di Chittenango? Dia lyman Frank Baum, dan aku ingin mengunjungi kota itu ketika musim panas tiba, konon katanya, selalu ada festival Oz-Stravaganza untuk merayakan penulis dan buku. Banyak yang harus aku jelajah di kota ini Dave.”
“Baiklah, aku akan ikut kemana kamu ingin menjelajah.”
“Seberapa lama kamu punya waktu?.”
“Selama kamu puas dengan New York.”
Percakapan kami terhenti, ketika titik hujan mulai mengguyur taman dan kebun anggur, dia berlari menuju sebuah café kecil yang dipenuhi ornament yang sangat klasik. Ribuan bintang-bintang tergantung pada atap, lampu-lampu penuh cahaya menambah suasana semakin romantic. Jasmine duduk tepat menghadap danau berwarna hijau, desiran angin halus menebak rambutnya yang lurus.
“Aku tak punya banyak waktu, Dave, kota ini begitu banyak memberikan kesenangan padaku. Aku enggan untuk pulang dan meninggalkan kota ini. Bisakah kita hidup di sini tanpa harus berpulang?.”
“Maksudmu menetap di sini?.”
“Iya, Arlene akan mengajakku mengunjungi kota Cooperstown, dia ingin membawaku mengunjungi The Fenimore Art Museum, itu adalah impianku Dave, kamu tahukan aku sangat suka dengan karya-karya seni yang unik dan etnik. Aku tidak akan pulang dalam waktu dekat ini.”
Aku hanya terdiam, lalu teringat pesan Nyonya Claressa yang menyuruhku untuk menjemput Jasmine sebelum pertengahan bulan ini, kesehatannya begitu menurun namun Jasmine seolah tidak memperdulikan ibunya, dia hanya memikirkan perjalanan panjangnya di New York.
“Ayolah Dave, lupakan rumah dan lupakan orang-orang di sana, kalau kamu memang mencintaiku kita menikah dan hidup di sini,” dia bicara sambil meminum secangkir kopi hangat, lalu mengambil beberapa gula batu dan mencampurkannya ke gelas kopiku.
“Dengar Jasmine, Arlene bukan teman yang baik, kemaren malam aku melihat dia bercinta di bawah lampu remang bersama lelaki tambun berkumis tebal, gelak tawanya membuat para lelaki begitu mudah menggodanya, kita pulang, dan meninggalkan kota ini,” lenguhku dengan nada agak berat, pikiranku kacau.
“Arlene hanyalah wanita penghibur Dave, dia tidak mungkin mau melayani para lelaki hidung belang. Aku tahu dia, jadi, tenanglah akupun bisa jaga diri.”
Aku kehabisan kata-kata untuk membujuk Jasmine, sementara kondisi nyonya Claressa sangat mengkhawatirkan, aku tidak mau hal buruk terjadi pada Jasmine jika ia lupa dengan perjanjiannya pada nyonya Claressa, kalau dalam dua pekan ini Jasmine tidak pulang, maka Jasmine akan terpenjara oleh mantra-mantra nyonya Claressa.
Hari ini aku mengunjungi Gereja tua di Sleepy Hollow, seseorang telah memberi pesan. Dia menemuiku sebelum malam datang. Dengan mantel tebal dan sepatu berhak tinggi, dari kejauhan aroma parfum sekelas Caron Poivre tercium menyengat, dan kulihat seorang perempuan setengah baya menghampiriku, matanya tajam, kepalanya dipenuhi dengan manik-manik bercahaya menyilaukan.
“Di mana Jasmine?” Suaranya begitu keras, nada dengan intonasi penuh amarah
“Dia pergi mengunjungi Museum di Cooperstown, bersama Arlene.”
“Suruh dia pulang, atau nyonya Claressa akan memenjarakannya.”
“Aku menyerah untuk melakukan itu, Jasmine adalah perempuan keras kepala. Besok, aku akan pulang dan membiarkan Jasmine tinggal di sini.”
“Goblok! Itu sama saja kamu menyerahkan nyawamu pada nyonya Claressa.”
“Jasmine mencintaiku, dan aku juga mencintainya. Jadi, biar aku yang menjadi pengganti Jasmine.”
“Omong kosong! Cinta macam apa yang kau agungkan, Jasmine adalah titisan iblis dan sekarang dia harus mempersembahkan jiwanya pada nyonya Claressa. Sementara kamu, hanyalah anak seorang saudagar yang dipercaya nyonya Claressa untuk membawa Jasmine kembali pulang.”
“Sudah kuperhitungkan itu.”
Kemudian perempuan tua itu mendesis, lidahnya menjulur panjang ke wajahku. Matanya ungu dan kehitaman. Wajahku dipenuhi dengan lendir berbau busuk dan aku hanya terdiam membiarkan tubuh keriput itu meliuk seperti ular yang hendak memangsa.
“Persiapkan kematianmu, anak muda” dia berbisik seperti meliarkan napsu berahinya, mulutnya mengeluarkan butiran-butiran Kristal yang menjijikkan.
Sementara di kota ini harus aku ikuti segala kemauan Jasmine, perempuan bermata ungu itu terus saja menyalibku dengan desahan-desahan halus, beberapa kali melumat bibirku dengan rakus. Lalu mengabarkan pada dunia sisa percintaan kami semalaman, dan aku, hanya ingin menyelamtakan dari mantra-mantra nyonya Claressa. Jasmine harus tetap hidup dan terus mengunjungi setiap benua di New York. Aku akan mempersembahkan diri untuk jadi serdadu dalam kota yang tak pernah tercantum dalam peta dunia.
Keesokan harinya, tanpa mengucap selamat tinggal pada Jasmine, aku mulai melakukan perjalanan beratus-ratus mil di bawah cahaya matahari yang menyengat. Aku catat segala kisahku dan kelak menjadi sebuah riwayat yang akan kupesembahkan pada Jasmine sebagai tanda ikrarku atas nama cinta.
Di depan gerbong kereta, seorang perempuan setengah baya berlenggang kemudian terbang dengan kedua sayapnya yang semakin menua.matamya kembali menghitam, tubuhnya meliuk dan berlendir sama seperti ular piton yang sedang lapar, tapi, kepalanya dipenuhi dengan ratusan anak ular yang bergelombang. Dia datang menghampiriku, kedua mata itu seperti bara api yang terus membakar apapun yang dilhatnya. Aku tidak peduli dengan apa yang ia lakukan, perjalananku masih panjang.
“Bercintalah denganku wahai pria kencana, aku akan membebaskanmu dari kutukan nyonya Claressa, bisikkanlah kata-kata jorok di telingaku agar kita bisa sampai pada puncak berahi, sebelum subuh merenggut nyawamu,” Dia melenguh-lenguh, tubuhnya telah melilit semua tubuhku, dan kini pandangan kami sangat erat, aku menangkap kebusukan dari cara pandangnya.
“Lepaskan aku, Helena. Aku tak mungkin melakukan percumbuan dengan perempuan iblis. Aku sangat mencintai Jasmine.”
“Jasmine akan menjadi perempuan iblis yang sangat kejam, dia akan segera pulang dan melakukan ritual bersama nyonya Claressa. Kamu akan kehilangan Jasmine untuk selamanya, cinta kalian hanyalah sebuah lelucon dan sekarang kamu akan dikutuk nyonya Claressa, kamu akan menjadi serdadu bercula dan siap menghisap setiap tetes darah perawan. Kamu akan menjadi pria kencana tertampan.”
“Bohong! Jasmine tidak akan pulang, dia sedang bersama Arlene.”
“Kamu terlalu lugu anak muda, Arlene adalah perempuan iblis yang menyamar menjadi pelacur. Sekarang Jasmine sudah ada di tangan nyonya Claressa, kamu terlambat, subuh nanti Jasmine akan dikutuk dan disalib oleh nyonya Claressa.”
Aku hanya terdiam, lalu meninggalkan perempuan menjijikkan itu. Aku melanjutkan perjalananku melewati beberapa benua hingga kusaksikan semesta mulai redup, malam gelap dan suara hewan hutan yang begitu mencekam, kunang-kunang saling berbisik kemudian aroma bangkai begitu menyengat, sesekali terdengar lirih suara Helena di balik pepohonan. Di depan gerbong tua, nyonya Claressa berdiri dengan gaun sutra biru yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus, mulutnya mengeluarkan aroma serupa kasturi yang begitu menggoda. Tubuhnya sempurna, ketika melihatnya serasa menikmati lukisan Birth Of Venus oleh Sandro Botticelli.
“Kamu telah gagal, Dave, kamu akan menjadi pengawalku selamanya. Selepas subuh kamu akan melepaskan tubuhmu dan berganti dengan tubuh ular yang berlendir, kamu tidak akan menemui Jasmine lagi.”
“Tidak, Ibu. Dave akan tetap menjadi manusia sempurna dia punya cinta sejati padaku” tiba-tiba Jasmine datang dengan tubuh dirantai dan mulutnya moncong seperti srigala namun matanya tetap ungu.
“Tidak ada cinta sejati, semua akan hancur dan kau bersiaplah untuk melakukan ritual malam ini” ucap nyonya Claressa sambil berlalu pergi, sementara Jasmine diseret oleh para serdadu iblis, namun matanya tetap menyimpan cinta.
Sejak malam itu aku kehilangan Jasmine, selepas subuh ketika mataku terbuka aku sudah berada di tengah-tengah hutan dan jauh dari pemukiman, aku kembali pada dunia yang seharusnya. Tidak ada lagi Jasmine, tidak ada lagi perempuan bermata ungu.
– SELESAI –
Arnita lahir 15 juli 1982 di Bandung, kecintaannya pada dunia sastra telah melahirkan sebuah karya dan tulisannya telah tergabung di beberapa antologi puisi, cerpen, esai, quote, fiksimini, pentigraf, antologi tunggalnya sebuah novelet berjudul Kopi Terakhir di Rotterdam tahun 2021. Untuk terhubung di akun sosialnya bisa lewat FB. Arnita IG. Kidung_arnita. Email arnitakusmana@gmail.com