PENYALIN KISAH
Oleh: Asep Zuhud
Dua kali dia mengusap pundakku dan kami mulai bersitatap. Entah apa yang dia maksudkan dengan itu, tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya. Mungkin sebuah isyarat, mungkin persetujuan atau semacamnya, aku tak yakin.
Cukup lama kami bersitatap. Sorot mata tropis;
hujan dan panas berebut mendiami matanya. Di kedua belah pipinya, jejak hujan semalam masih tampak di siang hari ini. Dua sungai kering yang nyaris menyentuh bibir yang bergetar semu. Mungkin hendak berucap, entah apa aku tak tahu dan sepertinya aku tak akan pernah tahu karena sampai saat ia berlalu tak sepatah katapun diucapkannya.
*
Sanggar dipenuhi kabut asap rokok. Tiga siluet hitam tampak perkasa di bawah bohlam yang mulai rabun. Dua diantaranya tidak mengenakan baju dan satu lagi orang itu: orang yang tempo hari menepuk pundakku dan berlalu tanpa bicara.
“Selamat datang,” sambut seorang tak berbaju yang duduk tepat menghadap ke arahku. Dengan cepat ia berdiri dan menemuiku.”
Mas Sadeli, apa kabar?” aku mendahului.
“Sehat, Bung? Mari, mari.”
Kepulan asap mulai tersingkap sepenuhnya, untuk beberapa saat aku pandangi dua orang yang sedang duduk itu.
“Itu anak baru, dia yang gak pake baju itu. Nah buatkan kopi, Min! ”
“Siap,Mas.”
“Nah itu…,”
“Pahit, manis? ” teriak anak baru itu dari arah belakang.
“Pahit,” kataku tanpa menunggu pertanyaan itu diulangi Mas Sadeli. Dan entah lupa atau bagaimana Mas Sadeli tak jadi memperkenalkan laki-laki itu padaku. Dia mempersilahkan aku duduk dan segera memamerkan beberapa lukisan anak baru yang dipajang di tepas itu. Ada yang bergantung, adapun sebagian tersandar di pojokan.
“Bagus kan? ”
Aku mengangguk, karena untuk ukuran anak baru lukisan-lukisan itu patut diacungi jempol. Tapi saat ini aku lebih tertarik dengan lelaki itu, dengan jati dirinya dan maksudnya tempo hari.
*
Bangunan dengan bata merah semerah tahun itu, 1960. Bangunan telanjang tanpa plester dengan tonjolan luka-lukanya dimasa lalu yang akrab dengan pemikiran, perlawanan, kegetiran dan juga LEKRA. Dulu.
*
“Aku Asad,” katanya pelan. Dia mengulurkan
tangannya dan kami bersalaman.
Dari caranya berbicara aku mengira dia seorang yang santun bahkan terlampau santun. Bisa dibilang pemalu. Mungkin anak menak, seorang yang dibesarkan dengan ajaran tata krama dengan begitu ketat dan memilih untuk hidup bebas. Mungkin. Yang jelas sudah hampir sejam kami mengobrol, barulah dia memperkenalkan namanya. Itu pun setelah Mas Sadeli dan Limin melanjutkan kembali lukisan mereka. Sudah menjadi semacam budaya, teman-teman di sanggar ini kerapkali berhenti ditengah pekerjaan mereka. Disaat ilham sedang mengucur kencang dan semangat yang m meluap-luap, mereka akan memilih
berhenti.
“Kita perlu mengendapkannya terlebih
dulu,” kata Mas Sadeli, dulu, saat aku tanyakan alasannya. Dan Limin, mungkin hanya ikut-ikutan. Aku tak yakin dia berani menanyakan hal itu.
“Mas tak ikut melukis?”
“Tidak, anu… saya lebih suka melihat mereka melukis,” masih dengan suara pelan dan tatapan tertumbuk ke lantai.
Sebenarnya aku ingin sekali menyinggung kejadian tempo hari, tapi ada semacam perasaan yang tak mengenakkan. Dan entah mengapa aku jadi merasa canggung.
“Soal di pasar minggu itu, Mas…,” suaranya
tertahan.
“Yang mana?” aku pura-pura mengingat kejadian itu.
*
Hari itu, tanpa sepengetahuanku dia berada di sanggar ini, tepatnya dua bulan yang lalu saat kedatanganku sebelum ini. Sanggar dipenuhi orang-orang tua yang entah sengaja atau tidak para pendahulu itu berkumpul dan bernostalgia. Malam itu gelak tawa tak mau surut, obrolan saling menyusul dari satu orang ke orang yang lain dan aku bercerita tentang kawan kami yang lukisannya dibredel di istana merdeka tahun itu. Namun entah apa yang salah, apa aku telah mengucapkan kata yang tak pantas atau sesuatu yang barangkali menyinggung. Aku tak tahu. Rasanya malam itu aku dan siapapun di sana tak bisa lagi mengontrol laju pikiran dan perkataan, kecuali anak itu.
*
“Dia Bapakku, Mas, orang yang Mas ceritrakan.”
suaranya semakin dalam, “Aku tak pernah bertemu dengannya. ”
Memang itu yang terjadi. Setelah hari itu kami tak pernah melihatnya kembali ke sanggar, di tengah kami, di tengah keluarganya dan di ingatan anaknya.
Sayup-sayup suara kuas menghilang, angin
kencang bertiup, hujan turun, dan sanggar
menangis.
***
2023