Cerita Pendek

- Penulis Berita

Selasa, 23 April 2024 - 23:55

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

PENYALIN KISAH

Oleh: Asep Zuhud

 

Dua kali dia mengusap pundakku dan kami mulai bersitatap. Entah apa yang dia maksudkan dengan itu, tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya. Mungkin sebuah isyarat, mungkin persetujuan atau semacamnya, aku tak yakin.

Cukup lama kami bersitatap. Sorot mata tropis;
hujan dan panas berebut mendiami matanya. Di kedua belah pipinya, jejak hujan semalam masih tampak di siang hari ini. Dua sungai kering yang nyaris menyentuh bibir yang bergetar semu. Mungkin hendak berucap, entah apa aku tak tahu dan sepertinya aku tak akan pernah tahu karena sampai saat ia berlalu tak sepatah katapun diucapkannya.

*

Sanggar dipenuhi kabut asap rokok. Tiga siluet hitam tampak perkasa di bawah bohlam yang mulai rabun. Dua diantaranya tidak mengenakan baju dan satu lagi orang itu: orang yang tempo hari menepuk pundakku dan berlalu tanpa bicara.

“Selamat datang,” sambut seorang tak berbaju yang duduk tepat menghadap ke arahku. Dengan cepat ia berdiri dan menemuiku.”

Mas Sadeli, apa kabar?” aku mendahului.

“Sehat, Bung? Mari, mari.”

Kepulan asap mulai tersingkap sepenuhnya, untuk beberapa saat aku pandangi dua orang yang sedang duduk itu.

“Itu anak baru, dia yang gak pake baju itu. Nah buatkan kopi, Min! ”
“Siap,Mas.”
“Nah itu…,”
“Pahit, manis? ” teriak anak baru itu dari arah belakang.
“Pahit,” kataku tanpa menunggu pertanyaan itu diulangi Mas Sadeli. Dan entah lupa atau bagaimana Mas Sadeli tak jadi memperkenalkan laki-laki itu padaku. Dia mempersilahkan aku duduk dan segera memamerkan beberapa lukisan anak baru yang dipajang di tepas itu. Ada yang bergantung, adapun sebagian tersandar di pojokan.

“Bagus kan? ”

Aku mengangguk, karena untuk ukuran anak baru lukisan-lukisan itu patut diacungi jempol. Tapi saat ini aku lebih tertarik dengan lelaki itu, dengan jati dirinya dan maksudnya tempo hari.

*

 

Bangunan dengan bata merah semerah tahun itu, 1960. Bangunan telanjang tanpa plester dengan tonjolan luka-lukanya dimasa lalu yang akrab dengan pemikiran, perlawanan, kegetiran dan juga LEKRA. Dulu.

*

 

“Aku Asad,” katanya pelan. Dia mengulurkan
tangannya dan kami bersalaman.
Dari caranya berbicara aku mengira dia seorang yang santun bahkan terlampau santun. Bisa dibilang pemalu. Mungkin anak menak, seorang yang dibesarkan dengan ajaran tata krama dengan begitu ketat dan memilih untuk hidup bebas. Mungkin. Yang jelas sudah hampir sejam kami mengobrol, barulah dia memperkenalkan namanya. Itu pun setelah Mas Sadeli dan Limin melanjutkan kembali lukisan mereka. Sudah menjadi semacam budaya, teman-teman di sanggar ini kerapkali berhenti ditengah pekerjaan mereka. Disaat ilham sedang mengucur kencang dan semangat yang m meluap-luap, mereka akan memilih
berhenti.

“Kita perlu mengendapkannya terlebih
dulu,” kata Mas Sadeli, dulu, saat aku tanyakan alasannya. Dan Limin, mungkin hanya ikut-ikutan. Aku tak yakin dia berani menanyakan hal itu.
“Mas tak ikut melukis?”
“Tidak, anu… saya lebih suka melihat mereka melukis,” masih dengan suara pelan dan tatapan tertumbuk ke lantai.

Sebenarnya aku ingin sekali menyinggung kejadian tempo hari, tapi ada semacam perasaan yang tak mengenakkan. Dan entah mengapa aku jadi merasa canggung.

“Soal di pasar minggu itu, Mas…,” suaranya
tertahan.
“Yang mana?” aku pura-pura mengingat kejadian itu.

*

 

Hari itu, tanpa sepengetahuanku dia berada di sanggar ini, tepatnya dua bulan yang lalu saat kedatanganku sebelum ini. Sanggar dipenuhi orang-orang tua yang entah sengaja atau tidak para pendahulu itu berkumpul dan bernostalgia. Malam itu gelak tawa tak mau surut, obrolan saling menyusul dari satu orang ke orang yang lain dan aku bercerita tentang kawan kami yang lukisannya dibredel di istana merdeka tahun itu. Namun entah apa yang salah, apa aku telah mengucapkan kata yang tak pantas atau sesuatu yang barangkali menyinggung. Aku tak tahu. Rasanya malam itu aku dan siapapun di sana tak bisa lagi mengontrol laju pikiran dan perkataan, kecuali anak itu.

*

 

“Dia Bapakku, Mas, orang yang Mas ceritrakan.”
suaranya semakin dalam, “Aku tak pernah bertemu dengannya. ”

Memang itu yang terjadi. Setelah hari itu kami tak pernah melihatnya kembali ke sanggar, di tengah kami, di tengah keluarganya dan di ingatan anaknya.
Sayup-sayup suara kuas menghilang, angin
kencang bertiup, hujan turun, dan sanggar
menangis.

***

2023

 

 

 

Berita Terkait

Menciptakan Surga di Hamparan Kebun Teh Kertasari Estate
MENGENAL SOSOK REVA YULI ANJANI, PENARI JAIPONG DARI DESA TARUMAJAYA
PUISI/SAJAK
CERPEN
TUJUAN
JENDELA BERDEBU
CHIANTI
SORE DI KAMAR

Berita Terkait

Kamis, 3 Oktober 2024 - 11:26

Ini Kata Ibu Paruh Baya Saat Terima Santunan Rp 42 Juta Program BPJS Ketenagakerjaan

Rabu, 2 Oktober 2024 - 22:50

Pemkab Bandung Imbau Masyarakat yang Bertahan di Tenda Pengungsian Kembali ke Rumah

Selasa, 1 Oktober 2024 - 14:41

Pemkab Bandung Bersama Bea Cukai Musnahkan 4,5 Juta Batang Rokok Ilegal dan 538 Botol Minuman Mengandung Etil Alkohol Ilegal

Senin, 30 September 2024 - 08:40

ASN Pemkab Bandung Gelar Deklarasi Tandatanga Netralitas Pada Pilkada 2024

Minggu, 29 September 2024 - 09:51

PNS Juga Peduli Korban Bencana Gempa Bumi Kertasari, Radio Kandaga 100.8 FM Bandung Galang Bantuan

Minggu, 29 September 2024 - 09:36

Pemkab Bandung: Masyarakat yang Kembali ke Rumahnya, Pastikan Struktur Bangunan Aman Ditempati

Jumat, 27 September 2024 - 06:03

Pemkab Bandung Fokus Tangani Bencana Gempa Bumi, Banyak Hal yang Sudah Dilaksanakan

Kamis, 26 September 2024 - 12:14

Pemkab Bandung: Terdampak Gempa Bumi, 81 Sarana Pendidikan, 96 Sarana Ibadah, 6 Fasilitas Kesehatan Alami Kerusakan

Berita Terbaru

IPDN Kukuhkan 721 Praja Pratama Angkatan XXXV Tahun 2024

PENDIDIKAN

IPDN Kukuhkan 721 Praja Pratama Angkatan XXXV Tahun 2024

Kamis, 3 Okt 2024 - 09:24

Dosen Triana Terpilih Sebagai  Praktisi 2024

PENDIDIKAN

Terpilih Apa Triana Lestari, Dosen PGSD UPI Cibiru ?

Kamis, 3 Okt 2024 - 09:03