KUTUNGGU ENGKAU DI GAZA
Karya Emha Ubaidillah
Aku kemudian menulis lagi di lembaran kertas lain. Kertas-kertas itu lalu kubawa ke luar kamar. Salahsatu lembarannya kuletakkan di atas tangan-tangan sebuah kursi. Di sana di sebuah kedai tua, juga kedai kopi. Sedangkan lembaran lainnya segera kuhamburkan di jalan-jalan yang padat dan ramai. Ada juga sebagiannya kutinggalkan di dekat jendela salahsatu rumah penduduk, sementara yang lainnya ku selipkan di pintu-pintu surau. Bahkan di setiap pijakan kakiku, jengkal demi jengkal, hasta demi hasta kutinggalkan lembaran kertas yang semestinya tidak boleh aku sebarkan.
Setiap kali keputusasaan membelenggu kedua tanganku, ratusan suara segera meneriakkan hina-dinanya sikap mundur dari medan perang juga sikap mengalah kepada musuh yang sejatinya tirani mungkarat. Aku sendirian, ya aku hanya sendirian, tapi sebenarnya aku kuat. Aku sedih dan khawatir tapi juga marah, marah sejadi-jadinya. Yang pasti aku sangat mencintai negeriku, tanah airku, tumpah darahku. Mari kalian kutunggu di Gaza.
Kemarahan, penyerahan. Cemoohan tolol, pengecut, tak tahu diri serta tidak punya ruh Wathaniyah! Garis-garis wajah baru yang berlenggang melintasi jalan-jalan serta hampar bulakan bebatu kering. Dunia Timur-Tengah benar-benar tengah dalam keadaan sempoyongan. Aku tidak tahu arah manakah yang kini sedang aku lalui. Hari ini. Semua visa perjalanannya mengarah serta menggiring kepada jurang kekalahan. Dan aku sangat jengah karena menjadi manusia paling pecundang.
Aku berbisik pedih kepada nuraniku sendiri; “Di Pengasingan, kamu dapat melakukan apa saja, selamu kamu terpisahkan dari pancaindramu. Di pengasingan, nilai-nilai kehidupan dan noktah kemanusiaan terobrak-abrik, dan kamu niscaya akan menemukan dirimu menjadi koloni lain, engkau akan menjadi makhluk lain, yang tidak akan menyerupaimu. Aku berkata pada diriku sendiri sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling.
Lalu aku terduduk pula di atas sebuah kursi kecil di sebuah warung kopi. Suara-suara radio menjeratku ke sana dari jalanan lenggang. Aku isyarati seorang bocah yang berdiri mematung di dekat radio tua itu. Wajahnya tampak sendu sangat pilu memilukan. Kepolosan serta keluguannya berkembang oleh banyaknya para pelanggan yang minta dilayani.
Bocah dekil itu perlahan mendekatiku. Ternyata matanya bengkak dan merah bahkan setiap lekuk di wajahnya mengisyaratkan bahwa ia baru saja habis menangis bahkan tangisan kelanjutan kemarin lusa. Hal itu dapat kutebak dengan mudah. Kuteguk air kopi dicangkirku ini, tentu dengan tenang dan perasaan bersahaja. Untuk pertama kalinya, aku memperhatikan orang-orang di sekitarku, dengan tatapan seakan lupa kedipan, tatapan penuh tanpa beranjak dari kelopaknya. Itu membuatku seakan-akan orang mati kalau saja nafasku raib terbawa hiruk-pikuk.
“Esok kita akan kembali ke tanah air kita. Barangkali dunia juga akan kembali ke asalnya.” Demikian mulutku berteriak. Dan kutunggu engkau di Gaza.” Teriakku lagi. Mendadak suara lain muncul dengan nada dan irama tinggi,
“Hidup tidak pernah mau menoleh kepada orang yang berada di belakangnya. Hidup ini sangat berseteru dengan mundur.”
Yang lain menyahut sengit, tak kalah tinggi nada dan iramanya pula,
“Tidak sesuatu pun kita peroleh dari perdamaian ini terkecuali lembaran hitam lain dalam sejarah kita. Apa arti perdamaian andaikan dengannya kamu justru hanya mampu menyerah dan tidak mendapatkan apa-apa yang semestinya menjadi hakmu.”
Sesaat suara itu merendah. Akan tetapi kembali muncul meninggi, penuh emosi.
“Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan langka ini berlalu begitu saja.”
“Hai, pengkhianat!”
“Dunia, kini telah berubah!” Tiba-tiba pula sebuah suara dengan nada sangat tinggi serta dikuasai amarah mengalahkan semua amarah yang ada, “Berdamai dengan orang-orang tolol itu sama saja dengan mengakui kedaulatan mereka. Saya tak akan pernah mau tinggal di sana, Bedebah!”
Kamarku yang sempit ini menghapus keterkesiapanku. Dan dengan agak gundah aku membuka lemariku agar dapat mengatasi saat-saat menakutkan yang dapat melemahkanku. Lembar perlembar koran-koran berjatuhan di lantai. Suatu kegetiran dengan seketika merasuki jiwaku saat kubaca kalimat pertama dalam sebuah koran. Koran yang kelihatannya telah terbengkalaikan di dalam lipatan, tersebab ditinggalkan pembacanya. Menguning bahkan merapuh akan tetapi isi dan beritanya terasa masih hangat.
Kubolak-balik lembaran itu tentu dengan tatapan hampa seraya batinku menggerutu, seringkali tanah air kita terlihat begitu aneh, jika kita mulai berlama-lama membayangkannya. Di zaman yang berwarna-warni ini potret diri kita terluka dalam cermin sebagai gambaran yang hitam pekat.
Allahu, hati ini terkoyak di jalur Gaza. Bumi yang disangga oleh angan-angan sebenarnya berada di sana. Aku mungkin dituding segala tahu. Hidup bagiku tak lebih dari sekedar sebuah bisikan di antara bibirku yang terkemudian melebur ketika anak-anak meneriakkan Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Kutarik nafas, dalam-dalam, kuisi udara baru rongga dadaku.
“Bukan hanya kita yang dianggap perlu hidup damai berdampingan dengan orang Yahudi. Esok lusa, semua orang yang bercokol di balik pagar kepengecutannya akan menuntut hal serupa, menuntut agar melupakan masa lalu kita yang berkuah darah.” Demikian bisik hatiku, “Orang-orang tolol itu tidak akan mengenal peluru kecuali setelah peluru itu bersarang di tubuhnya, kendati berkali-kali.” Terus saja hatiku ini berbisik dan merana,
“Allahu, inikah persamaan yang mustahil itu? Inikah darah-darah yang akan memenuhi celah-celah kuburan kita? Allahu, apakah yang telah menimpanya itu, kebimbangan yang terpasung? Hari-hari itu tergulung kegilaan hingga lembaran hidupku yang tercecer berteriak nyaring; bahwa aku telah kehilangan segalanya. Lihat dan kutunggu engkau di Gaza.”
Lihatlah tangismu meledak akan tetapi kemudian berteriak segila-segilanya dan sekeras-kerasnya,
“Aku tak kan kembali padamu andaikan borok busuk perdamaian itu masih saja mencoreng wajahku dengan pengkhianatan. Buat apa pula kau tunggu aku di Gaza?”
Ya Allahu, kukisahkan ini hanya pada-Mu, karena berjuta telinga layaknya tergembok sudah, oleh tajir kemunafikan. Segera kuambil pulpen, lalu kutuliskan sesuatu. Dan kembali kuletakkan pulpen tersebut untuk berjalan ke bibir jendela kamarku. Kupandangi celah sempit barbau anyir darah, dan sesuatu penampakan kotor, sobekan kertas dan ceceran air kotoran yang berhamburan dari lobang -lobang perut. Puntung rokok, kaleng minuman. Beberapa kantung kecil yang tergeletak di sudut kamar rupanya raib dari perhatian orang-orang. Di tengah pemandangan yang datang silih berganti, dari celah sempit berbau mesiu itu, kubuang kertas-kertas dan berterbangan mengejar gugusan debu dan asap kelabu. Lalu menampar-nampar wajah orang-orang yang berpacu mengejar kehidupan; Buat apa memikirkan penghuni Gaza, begitu igau mereka. Tetapi aku tetap merajuk pada-Mu, biar orang-orang segera menginjak nisanku; Kutunggu engkau di Gaza.
***
Cerpen yang terinspirasi oleh kegetiran warga Palestina terkhusus para penghuni Gaza, di mana mereka terus berharap kemenangan serta kemerdekaan negerinya, meskipun untuk menuju arah itu seperti sebuah kemustahilan. Mereka ingin gugur syahid di pelukan negerinya, karena ridha Allah mereka yakini berada di sana. Mereka terus menunggu, menunggu dan menjemput syahidnya. Wallahua’lam.
Emha Ubaidillah
Alamat Sapan Bunut RT 02/07 No. 30 Desa Tegalluar Kec. Bojongsoang Kab. Bandung 40297 Jawa Barat